Tolong jangan bacer!

tp kalau korang nak bacer korang kene bacer sampai abes..
credit to konseler hajar atas artikel ini
ianya asalnyer adelah bahasa indonesia
dengan sastera yg amat tinggi
aku cber permudahkannyer tok
senang di hadam
tp masih cber mengekalkan nilai sasteranya..enjoy aja

:::keharokkan apekah yang terjadi:::


Berkongsi: Mencintai sebelum menikah teladani sirah Saidina Ali dan Saidatina Fatimah...

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun.

Fathimah.

teman semasa kecilnye..
puteri kesayangan dari sang nabi yang adalah sepupunya itu..
sungguh mempersona
kesantunannya
ibadahnyer
kesempurnaan kerjanya
dan parasnya

pernah suatu masa dahulu ketika ayahnya pulang dengan luka memercik dan kepala yang dulumur
dengan segala isi perut unta

dibersihkannya berhati-hati
di rawatnya dengan rasa cinta
dibakarkan perca dan ditempekan ke luka
bagi mermberhentikan pendarahan

semua dilakukan dengan mata gerimis dan hati yg manangis
Muhammad ibn Abdullah Al-amin
tidak sewajarnya diperlakukan sebegitu

maka gadis cilik itu bangkit
gagah berjalan menuju Ka'bah

di sana para kafir quraisy yg saling tertawa membanggakan kejayaan
tindakan mereka terhadap Al-amin
tiba2 senyap

Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

Mengagumkan!

Ali x tahu apakah rasa itu boleh disebut CINTA

tapi ali memang tersentak ketika suatu hari merndengar khabar yg mengejutkan
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu bisik ’Ali.
Ali merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi?
 Abu Bakr lebih utama, walaupun bakar bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan membelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertanding.
 Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara
’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr;
’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak orang muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr;
Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..

Dan siapa  yang telah dibebaskan ’Ali?
Dari sisi kewangan, Abu Bakr sang saudagar kaya,
 Insyaallah lebih layak membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, bisik ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harapan di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.

Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
 Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
 seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam lebih lambat, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali [ergi selepas sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi,
dalam kejaran musuh yang kecewa karena tak menemukan
beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti,
silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’
Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum sedia menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu kedengaran. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?

Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah?
Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan.
Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab,
”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
 Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,

dalam suatu riwayat dikisahkan

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

Fathimah berkata kepada ‘Ali,

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”


~yang salah dari berkasih ato bebudak skang oanggil kapel itu bukan perasaannya, melainkan jalan yang kita pilih, untuk mempertanggungjawabkan perasaan tsb lah, yang tidak bijak...~

semoga istiqomah, ini memang tidak mudah.


Baarakallaahufiikum....


Source : Jalan cinta para pejuang Salim . A.fillah
Sirah Shahabat & Shahabiyah
4 Responses
  1. Nur Cahaya Says:

    ye..tu lah yg paling tbaek. no couple. luv after marriage. think i should give this to those yg slalu sangkal my principle. good article btw. may Allah bless all of us. amin~


  2. Moden world, love your money more than your wife... becoz life is not easy... :3



  3. i'm shirO Says:

    sudah pernah di baca crite ini...thanx for remind me back...=))